Senin, 30 Agustus 2010

Perang Dingin Indonesia vs Malaysia



Perang Dingin Indonesia vs Malaysia
Abdul Munir Sara - suaraPembaca



Jakarta - Setelah terlepasnya Sipadan dan Ligitan pada 17 Desember 2002 Indonesia dan Malaysia terus-menerus menuai perseteruan urat-syaraf dalam beberapa kasus pengklaiman. Namun, jika dihitung-hitung perseteruan itu secara politik dan ekonomi memosisikan Malaysia sebagai pihak yang diuntungkan. Baik secara materi maupun psikologis. 

Perseteruan Indonesia vs Malaysia ini bermula ketika dalam kasus Sipadan dan Ligitan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia dengan 16 hakim. Sementara hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagidipilih oleh Indonesia. Alhasil pulau Sipadan dan Ligitan pun masuk dalam wilayah kedaulatan Malaysia. 

Meskipun berbagai pandangan menyebutkan Sipadan dan Ligitan bukan wilayah kedaulatan Indonesia, dalam percaturan politik diplomasi, kekalahan Indonesia itu masih menyimpan luka yang bisa meradang sewaktu-waktu, bila rakyat Indonesia diperhadapkan dengan Malaysia dalam soal dan kasus lain sekecil dan sebesar apa pun itu. Hal ini terbukti.

Belum lama rakyat Indonesia berang terkait lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan, tahun 2005, Malaysia kembali membuat ulah dengan berusaha mencaplok selat Ambalat Kalimantan Timur sebagai wilayah kedaulatannya. Endusan kekayaan minyak di selat yang masih dalam perairan Indonesia itu, membuat Malaysia geregetan dan secara sepihak mengklaim Selat Ambalat sebagai wilayah perairan Malaysia.  

Keserakahan Malaysia ini pun serentak menuai emosi dan kecaman serta reaksi keras dari masyarakat Indonesia. Mulai dari mahasiswa, ormas, dan arus gerakan berideologi nasionalisme lainnya. Wujud kemarahan rakyat Indonesia itu dilakukan dengan membakar, mengincingi bendera dan segala simbol yang terkait dengan negara serumpun itu. Puncaknya Pasukan TNI AU pun melakukan pergelaran kekuatan di Selat Ambalat. Ancaman perang fisik pun bak telur diujung tanduk. 

Belum usai rakyat Indonesia meradang dengan ulah Malaysia terkait kasus Ambalat, lagi-lagi Malaysia kembali menohok dengan mengklaim tarian Reog Ponorogo dan pendet sebagai warisan budaya negaranya. Kasus lain yang juga menegangkan urat saraf Pemerintah RI - Malaysia adalah terkait penyiksaan dan penganiayaan TKI asal Indonesia yang terjadi Sejak 2003 hingga 2008.

Kini, Malaysia kembali reseh dengan menangkap tiga orang petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Riau yang sedang beroperasi dan menangkap nelayan Malaysia yang mencuri ikan diperairan Malaysia. Dari serangkaian polemik ini, semakin mengasah ketajaman tingkat resistensi Indonesia dan Malaysia dalam perang urat saraf yang tak berkesudahan.   
 
Kerugian

Jika perseteruan Indonesia ini, tidak lokalisir dalam suatu area konflik yang jelas, maka perang urat saraf ini akan terus merugikan Indonesia dan merembes ke mana-mana. Kerugian Indonesia yang pertama, energi positif bangsa kita akan terkuras untuk merespon berbagai profokasi Malaysia. Sementara dalam negara kita menyimpan banyak soal yang mesti diselesaikan. Dari kasus korupsi, supremasi hukum, penganguran, kejahatan yang kian mengkhawatirkan dan ragam sosal sosial ekonomi lainnya.

Kedua, bisa saja Malaysia berusaha mengecoh pertahanan laut Indonesia. Sementara di sektor darat, hutan kita habis digarong oleh pengusaha kayu asal Malaysia. Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta menyatakan menemukan jalur penebangan kayu liar memanjang di Cagar Alam Gunung Nyiut di Kalimantan Barat. Pelaku pembalakan diduga dari Malaysia.

Ketiga, dengan aksi provokasi itu, Malaysia ingin mengetahui seberapa besar nyali pemerintah Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan dengannya. Belum selesai kasus penangkapan tiga petugas DPK - RI itu, Malaysia kembali menggelindingkan isu hukuman mati terhadap terhadap 324 TKI yang membuat Pemerintah Indonesia hingar-bingar terkait soal ini.
 
Dependency

Ini sebatas kemungkinan, bahwa Malaysia akan merecoki pemerintah Indonesia dengan berbagai provokasi yang membakar reaksi masyarakat dan pemerintah. Menurut penulis, sebaiknya pemerintah melakukan tahapan-tahapan langkah diplomatis sebagai berikut:

Pertama, melokalisir berbagai potensi konflik antara Indonesia dan Malaysia. Konflik-konflik yang teridentifikasi merusak hubungan kedua negera, perlu diselesaikan secara diplomatis dan tidak merugikan pihak mana pun (baik Indonesia dan Malaysia).

Kedua, salah satu penyebab tak berdayanya diplomasi Indonesia terhadap Malaysia dalam beberapa insiden adalah akibat lemahnya kapabilitas (power) yang bisa menekan Malaysia. Dengan demikian, maka yang terpenting ke depan adalah memutuskan mata rantai ketergantungan (dependency) yang melemahkan Indonesia untuk menekan negara monarki itu. 

Kendati pun pertimbangan untung - rugi dan kuat lemah secara diplomatis kita dengan Malaysia harus dipertimbangkan, dalam segi-segi tertentu terkait harga diri bangsa, mesti ada dorongan untuk melawan. Paling tidak, Pemerintah RI tidak terkesan lemah dan diobok-obok oleh Malaysia.

Pemerintah mesti menunjukkan sikap tegas? Iya atau tidak? Itu saja. Mungkin pemerintah dibawa komando SBY, perlu belajar sedikit keberanian dengan membaca kemabali jejak-jejak historis Soekarno dalam doktrin 'Gajang Malaysia'.  

Abdul Munir Sara
Koordinator Lingkar Pemuda Tapal Batas Indonesia - Timor Timur
Abdulmunir_sara@yahoo.co.id
081318004078

Tidak ada komentar: